KOTA SEMARANG, Fmedio.com – DUA PULUHAN mahasiswa duduk berjejer di ruang 411 Gedung Fakultas Teknik dan Fakultas MIPA (GKB II) Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Sabtu (16/7). Mereka memakai jas almamater serta memegangi buku dan pena. Sesekali, percakapan kecil keluar di antara mereka tentang sosok yang diagendakan datang siang itu.
Sejurus kemudian, seorang pria muncul dari balik pintu. Perawakannya tegak dengan tinggi sekira 165 cm. Dia mengenakan baju koko, celana di atas mata kaki, dan membawa tas selempang di bahu kiri. Puluhan pasang mata mahasiswa Unimus yang memperhatikan dirinya, dibalas dengan senyum merekah.
Pria itu adalah Machmudi Hariono alias Yusuf, eks narapidana terorisme (napiter) kasus kepemilikan 26 bom rakitan di Kota Semarang. Hari itu adalah pertemuan dua pihak yang berbeda, para anak muda yang masih belajar arti bernegara di satu sisi, dan seorang pria yang pernah terlibat melawan negara di sisi yang lain.
“Mungkin sedikit sulit diterima bahwa saya yang dulu melawan negara kini berbalik 180 derajat,” kata Yusuf mengawali pembicaraan.
Sepak terjang Yusuf di dunia terorisme pada masa lalu memang bisa dibilang khatam. Dia merupakan jihadis asal Indonesia yang mengangkat senjata di Filipina Selatan. Pelatuk senapan serbu AK-47, M-16, roket, serta merakit bom, adalah keahlian yang dia dapat sekira 2,5 tahun hidup di medan perang.
Akhir perjalanan Yusuf di dunia terorisme terjadi pada 9 Juli 2003. Dia bersama 3 rekannya dicokok Densus 88 di sebuah rumah bertingkat di Jalan Taman Sri Rejeki Selatan VI RT 01/RW IV, Kelurahan Gisikdrono, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang.
“Jumlah bahan peledak yang ditemukan Tim Densus satu ton, hampir setara dengan Bom Bali I,” katanya mengenang peristiwa yang akan mengubah hidupnya untuk selamanya.
Yusuf dijatuhi vonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Semarang. Dia terbukti menyimpan bahan peledak, barang titipan Musthofa alias Abu Tholut yang terlibat kasus Bom Marriot.
Sembilan belas tahun yang lalu, Yusuf untuk pertama kali merasakan gelap kehidupan di balik jeruji penjara Nusakambangan. Kesendirian membuat dirinya terus merenungi ihwal hidup yang dijalani hingga membawanya ke sana.
“Saat di dalam tahanan, saya menanyakan ulang tindakan yang selama ini saya perbuat, apakah sudah benar atau sebaliknya,” ujarnya.
Proses deradikalisasi yang dijalani Yusuf selama menjadi napi memakan waktu cukup lama. Dia masih mengingat betul sejumlah peristiwa yang membuat dirinya memperoleh banyak kesadaran baru.
Pada suatu siang, ketika Yusuf merasa tak memiliki siapa pun lagi, ada sebuah panggilan dari sipir atas nama dirinya. Waktu itu adalah jam besuk tahanan. Dalam benaknya muncul sebuah tanya, siapakah yang masih menganggapnya ada?
“Saya kaget, ternyata keluarga dari Jawa Timur datang membesuk. Dari situ saya sadar, oh iya ya, kalau ada apa-apa, keluarga juga merasakannya. Sejak saat itu saya berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak mengecewakan keluarga lagi,” kata pria asal Desa Balonggemek, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang itu.
Kehidupan yang tak lagi sama
Awal 2009, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, geger dengan batu ajaib Ponari. Benda itu dikeramatkan karena dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Alhasil, desa itu menjadi tersohor dan diserbu orang dari penjuru Indonesia.
Kecamatan Megaluh di saat yang sama sebetulnya tidak hanya geger dengan batu Ponari. Sejarak 8 KM dari Desa Balongsari tepatnya di Desa Balonggemek, sebuah kabar yang tak kalah besar diam-diam dibicarakan.
Waktu itu Machmudi Hariono alias Yusuf pulang ke tanah kelahiran. Pria yang kini berusia 46 tahun itu keluar dari penjara 4 tahun lebih cepat dari vonis yang dijatuhkan pengadilan. Seharusnya dia baru bebas pada 2012, tetapi pada 2009 Yusuf menerima pembebasan bersyarat.
“Saya menjalani kurungan penjara selama enam tahunan karena mendapatkan remisi. Semua syarat yang diajukan negara saya penuhi termasuk (mengikuti) upacara di dalam penjara,” ujarnya.
Dua hari pertama kembali ke rumah, Yusuf didera gundah gulana. Tak satu pun dari tetangga, kerabat ataupun perangkat desa yang menjenguk kepulangannya. Sampai pada hari ketiga, Yusuf kedaatangan tamu pertamanya. Ternyata tamu itu ialah salah satu pimpinan jaringan terorisme dari Lamongan.
“Saya diajak untuk kembali masuk jaringan. Tawaran seperti itu pasti ada, tetapi saya selalu menolaknya,” ujar Yusuf menegaskan bahwa dirinya tak akan pernah kembali ke jaringan terorisme.
Pria yang pernah menjadi santri Pesantren Al-Islam milik Amrozi ini akhirnya memutuskan untuk merantau ke Kota Semarang lagi, dan mencoba membuka lembaran baru di sana. Keputusan itu dia ambil salah satunya untuk menghindari jaringan terorisme dari Lamongan.
Di Semarang, kehidupan kemudian berjalan normal. Yusuf menikah dan mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah makan. Namun, kehidupan yang demikian itu ternyata tidak bertahan lama. Yusuf dipecat lantaran masa lalunya sebagai eks napiter terungkap. Seusai peristiwa itu, dia bingung harus bekerja di mana atau menjalankan usaha apa karena stigma sebagai napi teroris masih sangat kuat di masyarakat.
Di tengah kerisauannya itu, dia dipertemukan dengan pegiat rekonsiliasi terorisme Noor Huda Ismail sekaligus pendiri Yasasan Prasasti Perdamaian (YPP). Huda menyarankan untuk membuka sebuah usaha dan siap membantu mencarikan modal.
Pada 2011, Yusuf dan sejumlah rekannya mendirikan rumah makan Dapoer Bistik di Semarang, serta berhasil membuka cabang di Solo. Pikirannya waktu itu sangat sederhana, makin besar bisnis yang dikelola makin banyak pula eks napiter yang bisa diajak untuk mencari rezeki bersama.
Sayangnya, Dapoer Bistik di Semarang hanya mampu bertahan 3 tahun, sedangkan cabang di Solo tutup pada tahun ke enam. Beruntung, dia masih memiliki bisnis penyewaan mobil di bawah naungan Rema Group Semarang.
Dirikan Persadani untuk eks napiter
Yusuf menjalani kerasnya kehidupan pasca-keluar dari tahanan. Kendati demikian, empatinya terhadap para eks napiter lainnya tidak hilang. Dia sejak 2009 aktif melakukan pendampingan kepada eks napiter yang baru bebas dari lapas.
Selain itu, saat ada teroris yang ditangkap, Yusuf seringkali kali mendampingan keluarga teroris tersebut. Menurutnya, korban yang terlupakan dalam kasus terorisme adalah keluarga pelaku, baik istri, anak, orang tua, ataupun saudara.
“Korban bukan hanya yang terkena bom, tetapi juga keluarga pelaku terorisme karena dengan dipenjara, tulang punggung keluarga menjadi hilang, perilaku diskriminasi juga kerap kali menimpa mereka,” katanya.
Setelah 11 tahun melakukan pendampingan, Yusuf ikut terlibat mendirikan yayasan yang mewadahi para eks napiter. Pada Minggu 8 Maret 2020 berdirilah Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani) dengan dilengkapi surat legalitas berbadan hukum.
Jumlah anggota Persadani hingga 2022 hampir 40-an eks napiter di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka biasanya menjemput para napiter yang baru keluar dari penjara dan menyerahkannya kepada perwakilan masyarakat.
Selain aktif di Persadani dan berwirausaha, Yusuf juga sering diundang ke berbagai forum baik di kampus maupun di tengah masyarakat. Dia membawakan materi wawasan kebangsaan tentang Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan (ATHG) dalam bernegara, salah satunya terorisme.(mar4/fmedio)
***
Liputan ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant: Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS)