KOTA SEMARANG, Fmedio.com – TEPUK riuh bersambut saat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar memukul kentongan dalam acara peresmian Kawasan Terpadu Nusantara (KTN) di lereng Gunung Sindoro, Desa Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, akhir Juli 2022.
Kawasan yang memanfaatkan lahan kopi seluas 10 hektare tersebut menjadi lokasi program deradikalisasi berbasis kesejahteraan bagi eks narapidana terorisme (napiter).
“KTN di Desa Bansari ini merupakan konsep kesejahteraan untuk mitra deradikalisasi (eks napiter) dengan mengedepankan aspek ekonomi, edukasi, dan pariwisata,” kata Boy Rafli Amar.
Menurutnya, dengan adanya KTN ini para eks napiter tidak akan kesulitan lagi mencari pekerjaan. Mereka akan dititipkan kepada koperasi setempat agar bisa menjalin kerja sama dengan warga meningkatkan produksi serta mempromosikan kopi Temanggung.
Dalam program ini, mitra deradikalisasi BNPT itu masuk menjadi anggota koperasi. Boy mengharapkan kemandirian ekonomi eks napiter bisa tercapai sehingga mencegah mereka menjadi residivis.
“Mitra deradikalisasi akan menjadi petani kopi yang hebat tangguh sebagaimana yang kami lihat di lingkungan Desa Bansari. Kopi itu komoditas yang terkenal, kami yakin di bawah bimbingan Kementan, eks napiter akan memiliki keterampilan sebagai petani kopi,” katanya.
Sebelum di Jawa Tengah, KTN telah lebih dulu didirikan di Malang, Jawa Timur pada akhir Maret 2022, kemudian juga dibuat di Jabar, NTB, dan Sulawesi Selatan. Program terbaru yang direalisasikan pada awal 2022 itu seolah menjawab keraguan publik terhadap BNPT yang dianggap minim peran seusai napiter bebas dari lapas.
Terkait dengan stigma negatif yang selama ini menimpa para eks napiter, menurut Boy, masalah tersebut akan hilang dengan sendirinya. Dia menegaskan bahwa KTN akan berfungi sebagai pusat reintegrasi sosial yang secara otomatis eks napiter akan dirangkul warga setempat.
Dia mengeklaim sudah lebih dari 800 eks napiter yang menjalani program deradikalisasi BNPT hingga akhir 2021.
“Ikhtiar ini tentunya bukan satu-satunya, tetapi ini sebuah upaya yang lebih komprehensif yang coba diterapkan BNPT dengan melibatkan semua pihak,” kata Jenderal bintang tiga itu.
Jangan ada yang bermain
Wakil Ketua Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani) BR alias Rizal (51) sebetulnya mendukung KTN jika bisa terlaksana dengan baik. Menurutnya, problem program deradikalisasi yang dilakukan BNPT selama ini ialah bagus secara konsep, tetapi tidak dalam pelaksanaanya di lapangan.
“Konsep (program deradikalisasi) BNPT bagus-bagus, tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan sering tidak sesuai dengan konsepnya karena banyak yang bermain,” katanya saat ditemui di Semarang, Senin (4/7).
Menurut Rizal, ada tiga faktor yang mendasari eks napiter menjadi residivis, yakni stigma negatif, sulitnya mendapatkan pekerjaan, dan pertemanan dengan teroris. Faktor-faktor tersebut, kata dia, saling terkait satu sama lain.
Dia menceritakan napiter setelah bebas biasanya kesulitan mencari pekerjaan karena stigma negatif. Hal itu membuka peluang teman-temannya di jaringan lama (kelompok terorisme) mendekat dan mempengaruhi mereka menjadi residivis.
Rizal yang merupakan eks napiter kasus perdagangan senjata itu mengakui bahwa dirinya juga beberapa kali diajak untuk kembali bergabung ke jaringan terorisme oleh temannya yang masih aktif.
Tawaran tersebut datang setelah dirinya bebas dari lapas pada akhir 2017, dan merasakan kerasnya hidup dengan stigma negatif di tengah masyarakat. Rizal pernah mendapatkan penolakan untuk kembali ke kampung halamannya dan kesulitan mendapatkan legalitas usaha.
Seiring berjalannya waktu, penolakan terhadap dirinya kian redup, sementara usahanya telah mendapatkan legalitas dari Pemkot Semarang berkat bantuan dari sejumlah akademisi Unnes.
“Faktor yang paling besar yang mempengaruhi eks napiter kembali ke jaringan terorisme adalah diskriminasi masyarakat. Itu pengaruhnya besar sekali. Kalau dia tidak diterima lagi, lantas siapa yang mau menerimanya kecuali jaringan lama,” katannya.
Ketua Persadani Machmudi Hariono alias Yusuf Yusuf mempunyai pengalaman tidak mengenakkan dalam upayanya mendampingi eks napiter di Jawa Tengah.
Seorang eks napiter perempuan berinisial M (24) asal Temanggung disinyalir kembali ke jaringan terorisme. Yusuf melakukan pendampingan terhadap M pada 2021, tetapi pada awal tahun ini sudah hilang kontak.
“Seusai menikah, dia menghilang, kembali ke jaringan lama, ISIS. Suaminya dari kelompok tersebut,” ujar Yusuf.
Dia menduga M kembali ke jaringan ISIS, salah satunya karena masalah ekonomi. Pada saat M keluar, BNPT hanya mengantarkan ke rumahnya di Temanggung dan menyerahkan uang pembinaan Rp 500 ribu dan bantuan sembako. Setelah itu, selama 1 tahun tidak ada pendampingan apapun dari BNPT.
“Anggaran untuk upaya pemberantasan terorisme hampir Rp 2 triliun (Densus 88 Rp 1,5 triliun, BNPT Rp 431,1 miliar pada tahun anggaran 2022). Uang sebanyak ini lo kok enggak dimaksimalkan untuk pendampingan. Kami tidak dibiayai pemerintah sehingga keuangan sangat terbatas,” katanya.
Jangan lagi ada harapan palsu
Penyuluh Agama Kemenag Kota Semarang Syarif Hidayatullah mengatakan fenomena eks napiter menjadi residivis merupakan momok bagi negara. Syarif sudah belasan tahun terlibat aktif mendampingi eks napiter agar terbebas dari paham radikalisme dan terorisme.
Menurutnya, selama ini ada kekecewaan yang mendera eks napiter seusai keluar dari lapas.
“Jadi semacam selama mereka di penjara diberi harapan palsu. Kamu keluar, kamu akan mendapatkan pekerjaan yang layak, macam-macam. Namun, ternyata sampai mereka (napiter) keluar ditunggu-tunggu tidak muncul,” katanya saat ditemui di Gereja IFGF Semarang, Selasa (12/7).
Menurutnya, tugas negara bukan hanya melakukan pendampingan terhadap eks napiter agar bebas dari paham ekstremisme, tetapi juga memastikan ada rekonsiliasi pascakonflik dengan masyarakat.
Oleh sebab itu, Syarif sebetulnya lebih mendukung jika BNPT menguatkan kerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus mendampingi eks napiter seperti Persadani dan lainnya ketimbang mengirim eks napiter ke KTN.
“Persadani ini, kan, isinya eks napiter yang sudah bertaubat sehingga pendekatan mereka lebih mudah. Negara harus mendukungnya. Jadi, saat negara tidak bisa hadir saat eks napiter butuh, ada Persadani,” ujarnya.(mar4/Fmedio)
***
Liputan ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant: Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS)