JEPARA, Fmedio.com – Tangan Imroatul (30) begitu terampil menyusun benang demi benang menjadi selembar kain. Tangan dan kakinya bergerak seirama, ke depan dan belakang, ke kiri dan kanan untuk membentuk pola kain tenun sesuai pesanan. Matanya jeli mengamati gerak sekoci pembawa benang agar motif yang disusun sebelumnya terbentuk sempurna.
Iim, sapaan akrab Imroatul, merupakan seorang perajin Tenun Ikat Troso. Selama 11 tahun, pekerjaan itu telah ia lakoni di sebuah rumah yang tidak begitu megah di Desa Troso RT 7 RW 11, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara, bersama suaminya. Ia menyediakan ruang kosong seluas 4×7 meter di rumahnya untuk menaruh gagrak atau Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Di suatu siang yang tak begitu terik sekira pukul 13.30 WIB itu, Iim sedang menyelesaikan pesanan tenun sarung motif “Dunia Pasrah” dari Pekalongan. Dalam sehari, ia dan sang suami mampu memproduksi dua lembar kain sarung berukuran 70×480 cm dengan upah Rp 70 ribu per lembarnya.
Proses pembuatan kain tenun dari benang hingga jadi, tentu tidak semuanya dikerjakan sendiri oleh Iim. Proses itu telah melibatkan banyak perajin lain yang bertugas memintal benang, nali atau proses membentuk motif pada benang, dan pewarnaan sebelum masuk ke tahap akhir yakni menenun.
Saat ditanya awal mula dirinya memilih menjadi perajin tenun, ingatannya terbawa pada peristiwa 12 tahun silam. Ketika itu, Iim yang bukan warga asli Desa Troso menikah dengan penduduk setempat.
Melihat suami dan mertuanya berkerja sebagai perajin tenun rasa penasaran Iim muncul. Dari mertuanya dia tahu, bahwa kerajinan menenun merupakan warisan ulama ketika melakukan syiar Islam di Desa Troso yang kemudian diteruskan turun-temurun dari generasi ke genarasi.
“Jadi ngak hanya pertimbangan materi sih. Ada warisan ulama yang harus terus dijaga. Di samping itu, pekerjaan ini juga fleksibel bisa dilakukan di rumah sambil mengurus keluarga,” ujarnya, Rabu (8/9/2021).
Bisa dikatakan Desa Troso adalah “Desa Tenun”. Aktivitas menenun seolah berlangsung 24 jam tanpa henti. Gemeretak mesin gagrak hampir selalu terdengar ketika menyusuri desa ini. Iim adalah satu dari ribuan masyarakat Troso yang menggantungkan mata pencariannya dari tenun.
Desa Troso memang telah lama masyhur sebagai sentral industri tenun ikat di Jawa Tengah. Tenun Troso bahkan menjadi komoditas kedua di Jepara setelah ukir kayu yang telah lama diakui dunia. Wajar saja, dari total sekitar 22 ribu masyarakat Desa Troso pada tahun 2020, sekitar 11 ribu orang merupakan perajin kain tenun.
Awalnya kerajinan tenun di Desa Troso masih berupa tradisi agama di zaman Mataram Islam. Kerajian itu kemudian menjelma unit usaha sampingan masyarakat, dan saat ini telah menjadi sentra industri kecil untuk memenuhi permintaan pasar dari Bali, Sumba, NTT, NTB, Tojara, Pekalongan, Jakarta, Solo, Yogyakarta, bahkan juga pasar mancanegara.
Ketenaran tenun Troso terus melejit. Desainer Poppy Darsono pada 2008 pernah merancang busana modern dengan sentuhan etnik berbahan tenun ikat Troso. Begitu pula perancang Leny Rafael, di panggung Indonesia Ethnic Fashion Show 2017 menggunakan rancangan busana dengan tenun Troso. Kemudian, pada akhir 2018 lalu desain busana dua siswi SMK NU Banat Kudus yang berbahan kain tenun Troso mampu menembus pameran di Paris dalam perhelatan Indonesian Fashion Chamber (IFC).
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Troso, Nasta’in mengatakan, tenun Troso terus eksis meskipun mengalami pasang surut seiring dengan perubahan zaman. Ia memperkirakan setiap bulan produksi tenun Troso mencapai 60 ribu potong dengan omzet Rp 7,8 miliar atau setahun sekitar Rp 90 miliar.
“Untuk ukuran sebuah desa, perputaran uang sebanyak itu sungguh besar. Itu belum termasuk jenis usaha lain, seperti mebel yang juga tumbuh di desa ini,” katanya, Jumat (10/9/2021).
Bermula dari Adat Menghormati Ulama
Awal mula kerajian menenun di Desa Troso memiliki beberapa versi. Cerita itu hidup dalam tradisi lisan masyarakat dari generasi ke generasi dan masih bertahan hingga kini. Versi pertama cerita itu mengatakan, keterampilan menenun diajarkan oleh ulama karismatik berdarah Arab, Mbah Datuk Gurnadi Singorojo di masa Kasultanan Mataram Islam (1586-1755 M).
Mbah Datuk datang ke Jepara dari Bali dengan tujuan mensyiarkan agama Islam. Lokasi dakwahnya yang pertama ialah di Desa Kerso yang berada dekat pesisir pantai Jepara. Beliau kemudian melanjutkan jalan dakwahnya ke arah timur yakni di Desa Troso.
Sosok Mbah Datuk tidak hanya dikenal sebagai Ulama atau Wali yang hanya peduli dengan ajaran agama. Melihat Desa Troso yang secara geografis tidak cocok untuk lahan pertanian, beliau mengajari masyarakat sekitar keterampilan menenun sebagai mata pencarian. Oleh sebab itu, tidak aneh apabila kain tenun Troso jika di Bali disebut kain endek kerena kesamaan motifnya.
“Beliau adalah wali yang peka terhadap potensi ekonomi warganya. Kini kami menyebutnya sebagai ekonomi kerakyatan,” kata Pengurus Masjid Datuk Ampel Troso, Haji Sunarto, Jumat (10/9/2021).
Seusai di Troso, Mbah Datuk melanjutkan dakwahnya ke daerah Mayong yang berdekatan dengan Kudus. Di sana dia juga dikenal sebagai ulama yang menggerakkan tradisi kerajinan gerabah bagi warga Mayong Lor, Kecamatan Mayong, yang berlangsung sampai saat ini. Beliau wafat di sana dan dimakamkan di Desa Singorojo, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.
“Setiap peringatan haul, masyarakat dari Desa Kerso dan Troso selalu datang ke Desa Singorojo untuk mengirimkan doa-doa,” ujarnya.
Lalu, versi kedua yang dinilai paling kuat yakni cerita tentang Mbah Senu dan Nyai Senu yang dianggap sebagai cikal bakal adanya Tenun Troso.
Wakil Ketua Pokdarwis Tenun Troso, Irbab Aulia Amri bercerita, Mbah Senu merupakan keturuanan ke 14 Sunan Muria yang memiliki nama lengkap Isnu Hidayat. Beliau mendapatkan tugas dari Kesepuhan Muria untuk meneruskan perjuangan dakwah Walisongo di Jepara.
Mbah Senu memulai jalan dakwahnya dari ujung utara Jepara, tepatnya di Desa Watu Aji dan Desa Jlegong, Kecamatan Keling. Lantaran mengalami kesulitan, Mbah Senu kemudian memilih pindah dari daerah itu menuju arah selatan hingga tiba di Desa Troso pada kisaran tahun 1575 M.
Di sana dia bertemu dengan Mbah Datuk Gurnadi Singorojo yang sudah meyebarkan syiar agama Islam sebelumnya di desa itu. Mbah Senu hidup bermasyarakat di Desa Troso sambil menyebarkan Agama Islam dengan cara dakwah, mengajarkan ilmu kanuragan (bela diri), dan juga mengajarkan keterampilan menenun kain.
Irbab mengatakan, awalnya keterampilan menenun diajarkan agar masyarakat memiliki sandang pakaian yang pantas yang bisa dikenakan ketika menemui atau berguru ilmu agama ke Mbah Datuk. Pada masa itu, pakaian merupakan barang mewah. Perempuan masih banyak yang hanya mengenakan kemban sehingga auratnya terbuka dan anak-anak hanya mengenakan pakaian bagian bawah dengan bertelanjang dada.
“Jadi kerajinan tenun muncul didasari kesadaran beragama untuk ta’dzim (menghormati) ulama pada masa itu. Kami melacak kisah tersebut sampai dengan penuturan Habib Luthfi. Dari beliau kami menjadi tahu kisahnya seperti apa,” ungkapnya.
Seiring berjalannya waktu, ketika masyarakat mulai banyak yang bisa menenun produk kerajinan itu kemudian mulai diperjualbelikan.
Dalam penelitian MR Fernando pada tahun 1996 yang berjudul, “Growth of Non Agrikultural Activities in Java in The Middle Decades of Nineteenth Century” dalam Modern Asian Studies menyebutkan, aktivitas menenun di Jepara sudah ada pada abad ke 19 (1831-1835 M). Aktivitas ini memberi dampak menguntungkan bagi rumah tangga serta mendorong kegiatan perdagangan meskipun dalam skala lokal dan kecil.
Kegiatan kerajinan pada masa itu di Keresidenan Jepara belum diimbangi dengan upah yang baik sehingga upah yang diterima pekerja masih rendah.
Penggunaan tenun Troso sendiri terus mengalami perubahan yang duhulunya hanya digunakan untuk menemui ulama, tetapi sekarang lebih pada perkembangan mode. Selain sebagai tren mode, tenun Troso juga difungsikan sebagai bed cover, blanket, penghias interior rumah, aksesoris, dan lain sebagainya.
Makam Mbah Senu sendiri berada di makam dowo tepatnya di sebelah selatan pemakaman umum Nogosari atau orang desa Troso sering menyebut di bawah pohon randu alas. Warga masih marawat makam tersebut dengan baik. Para pengusaha tenun di desa itu sering menziarahi makam tersebut agar mendapatkan berkah dalam menjalankan usahanya.
Tenun Troso di Tengah Modernitas
Dalam catatan Hak Atas Kakayaan Intelektual (HAKI) ada 111 motif Tenun Troso yang sudah dipatenkan. Jumlah itu terus bertambah lantaran para perajin melakukan inovasi dengan menciptakan motif-motif baru yang menggambarkan ciri khas desa tersebut.
Motif-motif baru yang saat ini bermunculan yakni, Motif Kedawung, Motif Ampel, Motif Belik Boyolali, dan Motif Sicengkir.
Meski terus mengalami perkembangan, tenun Troso bukan tanpa tantangan. Sejarak 6 kilometer dari desa Troso kini berkembangan pabrik-pabri besar yang berdampak langsung bagi industri kerajinan kecil yang berada di Kabupaten Jepara, termasuk kerajinan tenun Troso. Keberadaan pabrik-pabrik di sana merupakan imbas dari penanaman modal asing (PMA) sekitar 7 tahun yang lalu. Sejumlah pabrik besar di Jabodetabek melakukan eksodus ke Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara.
Irbab mengatakan dampak langsung dari masuknya pabrik-pabrik ke Jepara yakni berkuranganya minat generasi muda untuk bekerja di sektor kerajinan tenun. Menurutnya, kebanyakan anak muda di Troso lebih memilih bekerja di pabrik lantaran di sana mereka bisa mendapatkan gaji yang lebih layak.
“Dengan upah Rp70 ribu/potong kalau bekerja 25 hari, sebulan penenun menuai Rp 1,75 juta. Upah tersebut di bawah UMK Jepara 2021 yang mencapai Rp2.107.000/bulan. Sedangkan di pabrik mereka digaji UMK belum termasuk lembur,” ujarnya.
Yasir Amri (25) Pemuda Desa Troso misalnya, selama 1 tahun terakhir memilih pindah bekerja di pabrik garmen dari pada menjadi perajin tenun di desanya. Keputusan itu ia buat dengan alasan sederhana yakni, bekerja di pabrik lebih menentu penghasilannya dari pada di sektor tenun yang tidak stabil.
“Bisnis tenun itu, kan, sering mengalami pasang surut. Kalau lagi rame ya lumayan, tetapi, kan, tidak selalu seperti itu,” ujarnya.
Meski kini Yasir bukan lagi perajin, dia masih menjadikan pekerjaan menjual kain tenun sebagai tambahan pemasukannya. Saat ini, Yasir sedang merintis bisnis penjualannya lewat platform media sosial seperti Facebook dan Instagram. Sebagai anak muda dia sadar tidak mungkin selamanya bekerja sebagai buruh di pabrik garmen.
“Saya, kan, juga bakal tua. Jadi ya tetep harus membangun usaha. Di sekitar saya ada tenun ya saya mulai dari tenun, tapi belum bisa total,” tandasnya.
Menurutnya, saat ini yang perlu dipikirkan pemerintah adalah membuat industri tenun setara dengan industri garmen sehingga mampu kerajian dari leluhur ini bisa mengangkat taraf ekonomi perajin.
“Minimal pendapatan perajin bisa sampai UMK Jepara. Ini, kan, tenun Troso merupakan warisan leluhur, jadi perajin yang bertahan setidaknya bisa memiliki sisihan penghasilan untuk ditabung. Tidak hanya sekadar cukup untuk makan sehari,” tutupnya. (mar4/Fmedio)