Sebagai sebuah diskursus, filsafat Islam paling banyak menimbulkan perdebatan dari sisi eksistensinya. Para sarjana barat misalnya, melontarkan pertanyaan bernada menyudutkan, “Apakah filsafat Islam itu ada?
Mereka menganggap bahwa, filsuf Muslim generasi awal hanya berbicara filsafat Yunani tanpa menunjukkan bukti orisinilitas pemikirannya sendiri.
Ernest Renan berpendapat bahwa, filsafat Islam hanya nukilan dari pemikiran Aristoteles. Lalu, Pierre Duhem malah menganggapnya hanya sebagai fotocopy dari Neo-Platonisme.
Benarkah demikian? Mari saya ajak anda untuk masuk ke khazanah pemikiran Islam pada masa Dinasti Abbasiyah, ketika teks Yunani dan masyarakat Muslim waktu itu, berdialektika membentuk bahasa baru.
Masuknya pemikiran Yunani ke dalam dunia Arab-Islam, memang diakui telah mendorong perkembangan filsafat Islam jadi makin pesat. Meski demikian, menyimpulkan bahwa filsafat Islam hanya nukilan dari pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonisme, merupakan kesalahan besar.
Mari kita berfikir dengan logika sederhana; (pertama) apakah seorang murid harus menjadi sama dengan gurunya? Atau, apakah seorang pembaca harus memiliki pandangan yang sama dengan yang dibaca?
Harus dipahami bahwa, suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain, tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau pemikirannya sendiri.
Aristoteles misalnya, jelas murid Plato, tapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Begitu pula Baruch Spinoza, walau sebagai pengikut Rene Descartes, ia tetap mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri. Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para filsuf Muslim.
Lalu, (Kedua) poin penting yang juga perlu dicermati adalah, penerjemahan buku-buku filsafat Yunani, baru dilakukan pada Dinasti Abbasiyah di bawah khalifah al-Makmun sekitar tahun 811 masehi. Fakta ini menunjukkan, sebelum teks filsafat Yunani dikenal, pemikiran rasional telah lebih dahulu ada dan mapan dalam tradisi keilmuan Arab-Islam.
Dalam bidang fiqih misalnya, penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum atau istinbat dengan istilah-istilah seperti istihsan, istislah, qiyas, dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fikih yang melahirkan metode istinbat dengan menggunakan rasio seperti itu yakni, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ibnu Hanbal, yang hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.
Di bidang teologi, sejarah juga mencatat munculnya Muktazilah yang dibangun oleh Wasil bin Atha’ pada tahun 718 masehi. Aliran dengan corak rasionalitas keagaamaannya ini telah mendominasi pemikiran masyarakat muslim saat itu, bahkan sempat menjadi doktrin resmi pemerintah.
Menurut orientalis asal Amerika, Oliver Leaman, model pemikiran rasional filosofis yang berjalan dengan baik ini, berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika serta filsafat Yunani dalam Islam, bukan sebaliknya.
Jika demikian, dari mana sumber pemikiran rasional filosofis Islam itu berasal?
Dr. Khudori Soleh, dalam bukunya “FIlsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer” secara tegas berpendapat, pemikiran rasional-filosofis Islam lahir bukan dari pihak luar, melainkan dari Alquran dan hadits yang menjadi pedoman hidup. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul SAW masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau. Namun, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah nabi wafat. Padahal persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci Alquran dan tuntunan Nabi, lewat berbagai pemahaman.
Munculnya kajian filsafat Yunani oleh para pemikir Islam tidak terjadi secara kebetulan. Program penerjemahan atas buku-buku filsafat Yunani tersebut dilakukan secara masal dan gencar karena memang adanya kebutuhan zaman. Saat itu, muncul banyak doktrin sesat yang datang dari wilayah Iran, India, Persia, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas, yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya, yang dikategorikan dalam istilah ‘zindiq’.
Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim merasa perlu untuk mencari sistem berpikir rasional dan argumen-argumen yang lebih kuat, karena metode yang ada sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat. Karena itulah, seorang orientalis asal Universitas California, Ira M. Lapidus pada tahun 1937 menyatakan, filsafat Islam bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari agama itu sendiri.
Sejarah filsafat di dunia Islam adalah sejarah penyelarasan antara syari’at dan filsafat, atau iman dengan rasio. Kelak, tema inilah yang paling penting dan paling menghabiskan energi dalam filsafat Islam. Kita dapat melihat bagaimana para filsuf mengambil sepenuhnya refleksi filosofis Yunani dan mempertimbangkannya demi kepentingan Islam dengan justifikasi nash.
Pada periode awal ini, salah satu tokoh yang paling berjasa menyelaraskan antara agama dan filsafat Yunani yakni Alkindi. Tak ada catatan pasti mengenai tahun kelahirannya. Namun, ia diperkirakan lahir sekitar tahun 801 masehi di Kuffah atau kini masuk wilayah Irak. Kakek buyutnya, yakni Al Ash’ats bin Qais merupakan pemeluk agama Islam pada masa kenabian dan termasuk sahabat nabi.
Sejarah mencatat, Alkindi hidup pada masa penerjemahan besar-besaran karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan memang, sejak didirikannya Baitul Hikmah oleh al-Ma’mun, Alkindi sendiri turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini. Di samping menerjemah, ia juga memperbaiki terjemahan-terjemahan sebelumnya. Karena keahlian dan keluasan pandangannya, ia diangkat sebagai ahli di istana dan menjadi guru putera Khalifah.
Melalui penelusuran karya-karya Al-Kindi, para sejarawan menetapkan bahwa Al-Kindi merupakan filosof pertama yang menyelami disiplin filsafat dengan menggunakan bahasa Arab sebagai media pengantarnya. Dalam kondisi seperti itu, setidaknya ada 2 kesulitan yang dihadapi al-Kindi. Pertama, kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasan filosofis ke dalam bahasa Arab yang saat itu kekurangan istilah teknis untuk menyampaikan ide-ide abstrak. Kedua, adanya tantangan atau serangan yang dilancarkan oleh kalangan tertentu terhadap filsafat; filsafat dan filosof dituduh sebagai pembuat bid’ah dan kekufuran.
Untuk mengatasi kesulitan pertama, Alkindi sering mengambil alih istilah-istilah Yunani kemudian menjelaskannya dengan menggunakan kata-kata bahasa Arab murni, seperti failusûf untuk istilah Yunani philosophos, falsafah untuk istilah philosophia (filsafat), fanthasiyah untuk istilah phantasia.
Lalu, ia juga menciptakan kata-kata atau istilah baru dengan cara mengambil kata ganti dan menambahkan akhiran iyah di belakangnya, untuk membuat atau menjelaskan abstraksi-abstraksi yang sulit dinyatakan dalam bahasa Arab. Misalnya, al-mâhiyah dari kata mâ huwa untuk menjelaskan istilah Yunani to ti esti atau esensi; al-huwiyah dari kata ganti huwa untuk menjelaskan istilah Yunani to on atau substansi.
Untuk menghadapi tantangan kedua, inilah yang paling menarik, al-Kindi menyelesaikannya dengan cara menyelaraskan antara agama dan filsafat. Upaya untuk menyelaraskan keduanya, dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama, ia membuat kisah-kisah atau riwayat yang menunjukkan bahwa bangsa Arab dan Yunani bersaudara, sehingga tidak patut untuk saling bermusuhan. Dalam kisah ini, misalnya, ditampilkan bahwa Yunan (personifikasi dari nama negeri Yunani) adalah saudara Qathan, nenek moyang bangsa Arab. Dengan demikian, bangsa Yunani dan Arab berarti adalah saudara sepupu, sehingga mereka mestinya dapat saling melengkapi dan mencari kebenaran bersama meski masing-masing menggunakan jalan yang berbeda.
Kedua, ia mempromosikan pemahaman bahwa, kebenaran bisa datang dari mana saja dan umat Islam tidak perlu sungkan untuk mengakui dan mengambilnya. Dalam bukunya, al-Falsafah al-Ulâ, secara jelas al-Kindi menulis;
“Kita hendaknya tidak merasa malu untuk mengakui sebuah kebenaran dan mengambilnya dari manapun dia berasal, meski dari bangsa-bangsa terdahulu ataupun dari bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil kebenaran dari orang lain tersebut tidak akan menurunkan atau erendahkan derajat sang pencari kebenaran, melainkan justru menjadikannya terhormat dan mulia”.
Ketiga, ia menyatakan bahwa filsafat adalah suatu kebutuhan, sebagai sarana dan proses berpikir, bukan sesuatu yang aneh atau kemewahan. Al-Kindi senantiasa menekankan masalah ini terhadap orang-orang yang fanatik agama dan menentang kegiatan filosofis. Dengan metode dialektika, ia mengajukan pertanyaan kepada mereka, “Filsafat itu perlu atau tidak perlu?”. Jika perlu, mereka harus memberikan alasan dan argumen untuk membuktikannya; begitu juga jika menyatakan tidak perlu.
Padahal, dengan menyampaikan alasan dan argumen tersebut, mereka berarti telah masuk dalam kegiatan filosofis dan berfilsafat.
Sekarang mari kita masuk ke pembahasan yang lebih mendalam tentang bagaimana proses “islamisasi” filsafat Yunani. Alkindi menyusun bangunan filsafatnya dengan pengaruh besar dari ajaran metafisika Aristoteles tentang Tuhan sebagai causa prima atau penggerak utama yang tidak digerakkan dan sebagai sebab gerak alam semesta.
Bagi Alkindi, karena filsafat secara umum adalah studi tentang kebenaran, “filsafat pertama” adalah “pengetahuan tentang kebenaran pertama yang merupakan penyebab semua kebenaran, yakni Tuhan. Oleh karena itu, filsuf ideal harus mampu mencapai pengetahuan yang mulia itu. Mengetahui causa prima lebih mulia dari mengetahui akibat, karena kita hanya bisa mengetahui sesuatu dengan sempurna bila mengetahui sebabnya.
Meskipun ini mungkin tidak terlihat seperti deskripsi yang akurat tentang Metafisika Aristoteles, ini adalah hasil perenungan filosofis Alkindi dalam usahanya untuk menyelaraskan filsafat dan agama.
Dalam pandangan yang lebih komplek misalnya, Alkindi secara tegas menolak pemikiran filsafat Yunani tentang teori penciptaan alam semesta dengan logika berfikir Yunani. Para filsuf Yunani secara keseluruhan; mulai dari Plato, Aristoteles, sampai Plotinus, berpandangan bahwa semesta tercipta dari yang ada. Sebab, bagi mereka, apa yang disebut sebagai mencipta adalah membuat sesuatu yang baru berdasarkan apa yang ada sebelumnya, baik lewat gerakan atau emanasi. Artinya, dalam pandangan filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta dalam makna yang sesungguhnya, dari tiada menjadi ada, melainkan hanya sebagai penggerak atau pewujud realitas, dari alam potensial kepada alam aktual. Konsekuensinya, alam menjadi qadîm, tidak terbatas dan abadi karena gerak atau emanasi Tuhan adalah qadîm.
Al-Kindi menolak teori tersebut dan sebagai gantinya memunculkan gagasan bahwa alam semesta terbatas, tidak abadi dan tercipta dari yang tiada. Namun, argumentasi yang digunakan tidak bersifat teologis melainkan filosofis yang didasarkan atas prinsip-prinsip logika Aristoteles sendiri.
Menurutnya, jika kita menyatakan bahwa semesta qadim, maka kita juga harus menyatakan bahwa wujud aktual dari semesta ini tidak terbatas. Namun, ini bertentangan dengan prinsip logika Aristoteles yang menyatakan bahwa wujud actual adalah terbatas. Bagi Alkindi, alam semesta betapa pun luasnya adalah terbatas dan tercipta dari yang tidak ada atau creation ex nihilo. Karena ia terbatas maka alam semesta harus mempunyai titik awal dan akhir dalam waktu.
Masih banyak lagi pemikiran filsafat yunani yang ditransformasi dalam bentuk yang berbeda oleh Alkindi. Terlepas dari semua itu, satu hal yang tak terbantahkan adalah, komitmen dia sebagai promotor paling gigih dalam mempromosikan filsafat sebagai salah satu jalan menuju tuhan.
Bagi al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut persamaan posisi dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu. Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka, dan kehidupan akhirat.
Dalam semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan teori penciptaan alam semesta dari yang tidak ada menjadi ada, kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia oleh Tuhan.
Daftar Pustaka
Leaman, Oliver. 1988. Pengantar Filsafat Islam. Terj. Amin Abdullah. Jakarta: Rajawali
Kartanegara, Mulyadhi. 2003. “Pengantar” dalam A. Khudori Soleh (Ed.), Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.
Al-Kindi.1950. “al-Falsafah al-Ulâ”, dalam Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasâil al-Kindî alFalsafiyah. Mesir: al-I`timad.
Atiyeh, George N. 1983. Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno. Bandung: Pustaka.
Ahwani, Fuad el-. 1996. “Al–Kindi” dalam MM. Syarif, Para Filosof Muslim, terj. A Muslim. Bandung: Mizan.
Hamdi, Ahmad Zainul. 2004. Tujuh Filsuf Muslim. Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang.
Madani, Abubakar. Pemikiran Filsafat Al-Kindi. Jurnal Lentera, Vol. IXX, No. 2, Desember 2015.
Soleh, A. Khudori. 2016. Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.