BR (51) alias Rizal bersama putranya tampak sibuk menata camilan dalam mobil di pinggir Jalan Kecamatan Semarang Barat , Kota Semarang, Jawa Tengah. Di belakang mobil itu berdiri tenda yang dilengkapi meja dan kursi.
Lika-liku hidup sebagai seorang eks napiter tidak hanya dialami Yusuf. BR (51) alias Rizal bahkan pernah ditolak oleh oknum masyarakat seusai bebas dari penjara dan kembali ke rumahnya di Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang.
“Pernah ditolak kembali ke kampung. Mereka (yang menolak) saya tahu orangnya, (penganut) Nasrani berhaluan keras. Oknum masyarakat-lah,” ujarnya saat ditemui, Senin (4/7).
Rizal merupakan eks napiter yang sempat kena vonis 5 tahun penjara lantaran aktif membuat senjata. Dia dicokok pada 2014 dan keluar pada 2017 akhir karena mendapatkan remisi. Jauh ke belakang, dia sebetulnya sempat terlibat dalam aksi bom JW Marriott I (2003) dan menjadi DPO sekira 10 tahun.
Bapak tujuh anak ini masih begitu mengingat upaya pengusiran terhadap dirinya. Kala itu disebar isu bahwa Rizal tidak pantas diterima di kampung halaman lantaran dianggap masih berbahaya.
“Alhamdulillah, seiring berjalannya waktu suara penolakan itu akhirnya redup sendiri. Sekarang pun oknum itu sudah tidak tinggal di desa, sudah dijual rumahnya,” katanya.
Persoalan lain yang dihadapi Rizal pasca-keluar dari lapas, yakni pekerjaan. Pada 2018, dia mencoba membuka usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), tetapi tidak medapatkan legalitas dari Pemerintah Kota Semarang.
“Saya sempat mengurus sendiri, sulitnya bukan main,” katanya.
Proses legalisasi usaha yang dilakukan oleh Rizal ini pernah dijadikan penelitian oleh Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes) Ali Masyhar dan Muhammad Azil Maskur. Kedua akademisi ini sangat sadar pentingannya merangkul eks napiter supaya tidak kembali ke masa lalu.
Kongres PBB ke-8 dalam dokumen A/CONF.144/L.3 mengidentifikasikan faktor-faktor kondusif yang dapat menimbulkan kejahatan dan ekstremisme. Faktor tersebut, antara lain adalah kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan atau kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok atau serasi.
Menurut Ali dan Azil, dalam menanggulangi gerakan radikalisme ini seyogyanya ditempuh upaya untuk meniadakan faktor pendorongnya.
“Dosen Unnes mengirim beberapa mahasiswa untuk ikut membantu mengurus legalitas usaha,” tutur Rizal.
Dalam artikel berjudul “Legalitas Usaha Bagi Eks Narapidana Terorisme (Eks Napiter)” yang diterbitkan oleh Jurnal Pengabdian Hukum Indonesia (2020) menyebutkan bahwa eks napiter kesulitan mengurus legalitas usaha lantaran belum memahami prosedur yang ada.
Lebih-lebih, masih kata penelitian tersebut, para eks napiter adalah orang-orang yang pernah melawan negara sehingga mereka butuh pendampingan untuk penyesuaian di lingkungan yang berbeda.
Berkat bantuan yang dikemas dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat dari Unnes inilah, UMKM Kedai Susu dan Burjo milik Rizal telah memiliki izin usaha. Dia kini bisa menafkahi istri dan memiliki biaya untuk pendidikan ketujuh anaknya.
Yusuf dan Rizal adalah potret kecil kehidupan eks napiter seusai keluar dari penjara. Ikrar setia kepada negara tidak membuat keduanya lantas terbebas dari stigma saat kembali ke tengah masyarakat.
Kendati demikian, mereka dengan sabar melalui masa sulit yang seharusnya tidak perlu dialami. Lebih dari itu, empati keduanya terhadap eks napiter lain juga tak hilang. Yusuf sejak 2009 aktif melakukan pendampingan kepada keluarga teroris yang tertangkap, sementara Rizal melakukan hal serupa sejak 2018.
Kedua orang ini sepakat korban yang terlupakan dalam kasus terorisme adalah keluarga pelaku, baik istri, anak, orang tua, ataupun saudara.
“Dari awal setelah keluar dari penjara, saya fokus membantu teman-teman yang baru masuk penjara. Keluarganya bagaimana, anaknya bagaimana. Waktu itu saya berdiri sendiri,” tutur Rizal.
“Korban bukan hanya yang terkena bom, tetapi juga keluarga pelaku terorisme karena dengan dipenjara, tulang punggung keluarga menjadi hilang,” kata Yusuf menambahi.
Setelah 11 tahun melakukan pendampingan, Yusuf akhirnya bisa membuat yayasan yang mewadahi eks napiter. Pada Minggu 8 Maret 2020 berdirilah yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani) dengan dilengkapi surat legalitas berbadan hukum. Yusuf didaulat sebagai ketuanya, sedangkan Rizal sebagai sekretaris.
Jumlah anggota Persadani hingga 2022 hampir 40-an eks napiter di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka biasanya menjemput para napiter yang baru keluar dari penjara dan menyerahkannya kepada perwakilan masyarakat.
Menurut Yusuf, forum pertemuan antara eks napiter dan warga sangat diperlukan supaya tidak terjadi kesalahpahaman yang menjurus pada perilaku diskriminasi. Dia mengharapkan masyarakat dapat merangkul eks napiter yang kembali ke kampung halamannya.
“BNPT biasanya hanya mengantar eks napiter ke rumah, setelah itu selesai. Namun, kami menjembatani eks napiter dan warga supaya hubungan bisa terjalin dengan baik,” tuturnya.
Yusuf mempunyai pengalaman tidak mengenakkan dalam upayanya mendampingi eks napiter di Jawa Tengah. Seorang eks napiter perempuan berinisial M (24) asal Temanggung disinyalir kembali ke jaringan terorisme. Yusuf melakukan pendampingan tersebut pada 2021, tetapi pada awal tahun ini M hilang kontak.
“Seusai menikah, dia kembali ke jaringan lama, ISIS. Suaminya dari kelompok tersebut,” ujar Yusuf.
Dia menduga M kembali ke jaringan ISIS, salah satunya karena masalah ekonomi. Pada saat M keluar, BNPT hanya mengantarkan ke rumahnya di Temanggung dan menyerahkan uang pembinaan Rp 500 ribu dan bantuan sembako. Setelah itu, selama 1 tahun tidak ada pendampingan apapun dari BNPT.
“Anggaran untuk upaya pemberantasan terorisme hampir Rp 2 triliun (Densus 88 Rp 1,5 triliun, BNPT Rp 431,1 miliar pada tahun anggaran 2022). Uang sebanyak ini lo kok enggak dimaksimalkan untuk pendampingan. Kami tidak dibiayai pemerintah sehingga keuangan sangat terbatas,” katanya.
Selama 13 tahun Yusuf pergi ke berbagai tempat untuk mendampingi orang-orang yang terjerumus ideologi radikal, terorisme. Tak jarang dia harus pergi keluar Jawa Tengah untuk melakukan pendampingan tersebut.
Eksistensi Persadani kini sudah diakui. Selain melakukan pendampingan kepada eks napiter yang baru keluar dari penjara, sejumlah anggotanya aktif menjadi pembicara yang menyosialisasikan wawasan kebangsaan baik di kampus maupun di tengah masyarakat.
Dalam upaya Persadani melakukan misi deradikalisasi, yayasan yang berlokasi di Jl. Jatisari No.4, RT 04 / RW 13, Kelurahan Gisikdrono, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang ini dibantu oleh Kemenag setempat.
Penyuluh Agama Kemenag Kota Semarang Syarif Hidayatullah mengaku telah membantu Persadani melakukan deradikalisasi sejak yayasan ini berdiri. Syarif mengemban tugas itu dengan fokus mengubah perilaku eks napiter, yang secara tidak langsung akan turut mengubah ideologinya.
“Sering mengadakan berbagai kegiatan, contohnya mempertemuakan eks napiter dengan penganut agama lain, atau aliran yang berbeda dengan mereka. Banyak bersilaturahmi, banyak bertemu, banyak berjumpa dengan keanekaragaman pemahaman, itu yang membuat mereka mengubah perilaku,” katanya saat ditemui di Gereja IFGF Semarang, Selasa (12/7).
Kendati demikian, dia menyadari bahwa negara belum terlalu hadir melakukan pendampingan kepada eks napiter. Menurutnya, negara sering mengabaikan faktor pendorong yang membuat eks napiter menjadi residivis.
“Pendampingan dari kami-kami ini, dari negara juga lemah. Jadi semacam selama mereka di penjara ada diberi harapan palsu. Kamu keluar dari penjara, kamu akan mendapatkan pekerjaan yang layak, macam-macam. Namun, ternyata sampai mereka keluar ditunggu-tunggu tidak muncul,” katanya.
Syarif menyampaikan BNPT, Densus 88, lembaga terkait, dan masyarakat harus bergerak bersama mendampingi eks napiter. Upaya tersebut muktlak dibutuhkan untuk mencegah eks napiter menjadi residivis.
“Persadani itu membantu pemerintah,” tutur Syarif Hidayatullah.(mar4/fmedio)
***
Liputan ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant: Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS)